Pangan merupakan salah satu kebutuhan
dasar manusia, karena itu pemenuhan atas pangan yang cukup, bergizi dan aman menjadi hak asasi setiap
rakyat Indonesia untuk mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan
pembangunan nasional. Karena itu, pembangunan pangan dan
gizi perlu diposisikan sebagai Central of Development bagi keseluruhan
pencapaian target “Millenium Development Goal’s (MDG’s) yang menjadi komitmen
bersama.
Pada World Food Summit (1996),
ketahanan pangan didefinisikan sebagai: ”Ketahanan pangan terjadi apabila semua orang
secara terus menerus, baik secara fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai akses untuk pangan
yang memadai/cukup, bergizi dan aman, yang memenuhi
kebutuhan pangan mereka dan pilihan makanan untuk hidup secara aktif dan sehat”.
Di Indonesia, Undang-undang No. 7
tahun 1996 tentang Pangan mengartikan Ketahanan Pangan sebagai kondisi terpenuhinya
pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya, aman, merata dan terjangkau.
Salah satu
kendala dalam pengelolaan program pangan yang efektif adalah terbatasnya
informasi ketahanan pangan yang akurat dan tertata dengan baik. Padahal dengan
informasi yang baik kita dapat melakukan pekerjaan sehari-hari dengan lebih
cepat, tepat dan dinamis. Sampai dengan
tahun 2005 tidak ada sarana untuk menganalisa dan mengklarifikasi ketahanan dan
kerentanan pangan di Indonesia. Karena
data yang tersedia hanya ada pada tingkat nasional, maka variasi data antar
daerah tidak terlihat jelas. Hal ini
menyebabkan sulitnya menentukan daerah dan alokasi sumberdaya untuk
menanggulangi kerawanan pangan di daerah yang rentan.
Pada tahun 2003-2005 BKP dan WFP telah melakukan
kerjasama dalam rangka penyusunan informasi yang terkait dengan ketahanan dan
kerentanan pangan. Pada tahun 2005 telah dihasilkan dan dipublikasikan Peta
Kerawanan Pangan (FIA) yang pertama. Peta
Kerawanan Pangan tersebut telah memberikan dampak positif bagi pengembangan
ketahanan pangan di daerah.
Di tingkat pusat, Peta Kerawanan Pangan dijadikan sebagai acuan dalam
penetapan prioritas lokasi dan pengalokasian anggaran pada Program Badan
Ketahanan Pangan seperti Program Aksi Desa Mandiri Pangan dan Pemberdayaan
Daerah Rawan Pangan. Melalui pertemuan Bupati dan Pertemuan Dewan Ketahanan
Pangan, Peta Kerawanan Pangan disepakati sebagai Acuan bagi pimpinan daerah
dalam melakukan intervensi daerah rawan pangan.
Peluncuran
FIA 2005 ternyata masih menyebabkan kesalahpahaman pengertian pemeringkatan
kabupaten. Kata kerawanan pangan (food
insecurity) di indikasikan secara langsung bahwa kabupaten-kabupaten
peringkat bawah adalah kabupaten yang memiliki penduduk rawan pangan. Oleh
karena itu, peta nasional kedua ini diberi judul baru yaitu “Peta Ketahanan dan
Kerentanan Pangan Indonesia-Food Security
and Vulnerability Atlas (FSVA)” merupakan pemuktahiran dari FIA 2005.
Perubahan nama Peta Kerawanan Pangan (Food
Insecurity Atlas) menjadi Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas)
dilakukan dengan pertimbangan untuk memperjelas pengertian mengenai konsep
ketahanan pangan berdasarkan tiga dimensi ketahanan pangan.
FSVA yang telah disusun pada tingkat nasional selanjutnya perlu dijabarkan lagi di
tingkat provinsi hingga level kecamatan bahkan desa. FSVA
yang disusun merupakan sarana bagi para pengambil keputusan untuk secara cepat dalam
mengidentifikasi daerah yang lebih rentan, dimana investasi dari berbagai
sektor seperti jasa, pembangunan manusia dan infrastuktur yang berkaitan dengan
ketahanan pangan dapat memberikan dampak yang lebih baik terhadap penghidupan,
ketahanan pangan dan gizi masyarakat.
Peta
FSVA disusun pada tingkat wilayah dengan menggunakan indikator yang sifatnya
statis dan perubahannya jangka panjang periode pengambilan data setiap 2-3
tahun. Untuk memperkuat analisis FSVA ini, maka perlu dilakukan sistem
pemantauan dan deteksi dini dalam mengantisipasi kejadian kerawanan pangan
secara berjenjang sebagai dasar membangun ketahanan pangan di wilayah yang
dilakukan secara periodik (triwulan) dan terus menerus melalui kegiatan SKPG.
Dengan hasil analisis SKPG tersebut diharapkan dapat dijadikan bahan
pertimbangan bagi pengambil kebijakan
dalam melakukan pencegahan maupun tindakan penanggulangan kerawanan pangan
secara lebih cepat dan lebih tepat serta dijadikan dasar pertimbangan dalam
penyusunan program ketahanan pangan.
Untuk
menyusun Peta FSVA di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara kendala yang selama ini
dihadapi adalah kurang tersedianya data yang memadai dan akurat. Penyediaan data yang tepat dan akurat
merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Namun kendala yang dihadapi saat ini adalah
kurang pahamnya masyarakat dan pemerintah desa tentang data-data yang
dibutuhkan untuk menganalisa ketahanan dan kerentanan pangan di wilayah
khususnya Kabupaten Bolaang Mongondow Utara.
Blog ini dibuat sebagai salah satu sarana bagi Badan Ketahanan Pangan
Kabupaten Bolaang Mongondow Utara khusunya Bidang Keamanan dan Kerawanan Pangan
untuk mensosialisasikan kepada masyarakat umum fungsi dan kegunaan dari data
yang dibutuhkan untuk penyusunan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan serta
sebagai salah satu referensi bagi pengambil kebijakan untuk melihat kondisi
ketahanan dan kerentanan pangan wilayah dalam kaitannya dengan penyusunan
program penanggulangan daerah rawan pangan.
Itu peta fsva tahun berapa ya ka? Buat tugas ni ga nemu peta nya hehe, disuru beda soalnya
BalasHapus