Senin, 10 November 2014






Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, karena itu pemenuhan atas pangan yang cukup,  bergizi dan aman menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia untuk mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional.  Karena itu, pembangunan pangan dan gizi perlu diposisikan sebagai Central of Development bagi keseluruhan pencapaian target “Millenium Development Goal’s (MDG’s) yang menjadi komitmen bersama.
Pada World Food Summit (1996), ketahanan pangan didefinisikan sebagai: ”Ketahanan pangan terjadi apabila semua orang secara terus menerus, baik secara fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai akses untuk pangan yang memadai/cukup, bergizi dan aman, yang memenuhi kebutuhan pangan mereka dan pilihan makanan untuk hidup secara aktif dan sehat”. 
Di Indonesia, Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan mengartikan Ketahanan Pangan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.
Salah satu kendala dalam pengelolaan program pangan yang efektif adalah terbatasnya informasi ketahanan pangan yang akurat dan tertata dengan baik. Padahal dengan informasi yang baik kita dapat melakukan pekerjaan sehari-hari dengan lebih cepat, tepat dan dinamis.  Sampai dengan tahun 2005 tidak ada sarana untuk menganalisa dan mengklarifikasi ketahanan dan kerentanan pangan di Indonesia.  Karena data yang tersedia hanya ada pada tingkat nasional, maka variasi data antar daerah tidak terlihat jelas.  Hal ini menyebabkan sulitnya menentukan daerah dan alokasi sumberdaya untuk menanggulangi kerawanan pangan di daerah yang rentan. 
Pada tahun 2003-2005 BKP dan WFP telah melakukan kerjasama dalam rangka penyusunan informasi yang terkait dengan ketahanan dan kerentanan pangan. Pada tahun 2005 telah dihasilkan dan dipublikasikan Peta Kerawanan Pangan (FIA) yang pertama. Peta Kerawanan Pangan tersebut telah memberikan dampak positif bagi pengembangan ketahanan pangan di daerah.
Di tingkat pusat, Peta Kerawanan Pangan dijadikan sebagai acuan dalam penetapan prioritas lokasi dan pengalokasian anggaran pada Program Badan Ketahanan Pangan seperti Program Aksi Desa Mandiri Pangan dan Pemberdayaan Daerah Rawan Pangan. Melalui pertemuan Bupati dan Pertemuan Dewan Ketahanan Pangan, Peta Kerawanan Pangan disepakati sebagai Acuan bagi pimpinan daerah dalam melakukan intervensi daerah rawan pangan.
Peluncuran FIA 2005 ternyata masih menyebabkan kesalahpahaman pengertian pemeringkatan kabupaten. Kata kerawanan pangan (food insecurity) di indikasikan secara langsung bahwa kabupaten-kabupaten peringkat bawah adalah kabupaten yang memiliki penduduk rawan pangan. Oleh karena itu, peta nasional kedua ini diberi judul baru yaitu “Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia-Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA)” merupakan pemuktahiran dari FIA 2005. Perubahan nama Peta Kerawanan Pangan (Food Insecurity Atlas) menjadi Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas) dilakukan dengan pertimbangan untuk memperjelas pengertian mengenai konsep ketahanan pangan berdasarkan tiga dimensi ketahanan pangan.
FSVA yang telah disusun pada tingkat nasional selanjutnya perlu dijabarkan lagi di tingkat provinsi hingga level kecamatan bahkan desa. FSVA yang disusun merupakan sarana bagi para pengambil keputusan untuk secara cepat dalam mengidentifikasi daerah yang lebih rentan, dimana investasi dari berbagai sektor seperti jasa, pembangunan manusia dan infrastuktur yang berkaitan dengan ketahanan pangan dapat memberikan dampak yang lebih baik terhadap penghidupan, ketahanan pangan dan gizi masyarakat.
Peta FSVA disusun pada tingkat wilayah dengan menggunakan indikator yang sifatnya statis dan perubahannya jangka panjang periode pengambilan data setiap 2-3 tahun. Untuk memperkuat analisis FSVA ini, maka perlu dilakukan sistem pemantauan dan deteksi dini dalam mengantisipasi kejadian kerawanan pangan secara berjenjang sebagai dasar membangun ketahanan pangan di wilayah yang dilakukan secara periodik (triwulan) dan terus menerus melalui kegiatan SKPG. Dengan hasil analisis SKPG tersebut diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi  pengambil kebijakan dalam melakukan pencegahan maupun tindakan penanggulangan kerawanan pangan secara lebih cepat dan lebih tepat serta dijadikan dasar pertimbangan dalam penyusunan program ketahanan pangan.

Untuk menyusun Peta FSVA di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara kendala yang selama ini dihadapi adalah kurang tersedianya data yang memadai dan akurat.  Penyediaan data yang tepat dan akurat merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat.  Namun kendala yang dihadapi saat ini adalah kurang pahamnya masyarakat dan pemerintah desa tentang data-data yang dibutuhkan untuk menganalisa ketahanan dan kerentanan pangan di wilayah khususnya Kabupaten Bolaang Mongondow Utara.  Blog ini dibuat sebagai salah satu sarana bagi Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Bolaang Mongondow Utara khusunya Bidang Keamanan dan Kerawanan Pangan untuk mensosialisasikan kepada masyarakat umum fungsi dan kegunaan dari data yang dibutuhkan untuk penyusunan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan serta sebagai salah satu referensi bagi pengambil kebijakan untuk melihat kondisi ketahanan dan kerentanan pangan wilayah dalam kaitannya dengan penyusunan program penanggulangan daerah rawan pangan.  

1 komentar :

  1. Itu peta fsva tahun berapa ya ka? Buat tugas ni ga nemu peta nya hehe, disuru beda soalnya

    BalasHapus